ISTILAH PECAH BELAH selalu dikaitkan dengan barang-barang peralatan dapur. Misalnya, periuk, sendok, garpu, mangkok, piring dan peralatan dapur lainnya. Istilah ini sudah merakyat dan sangat populer dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa; dari orang-orang berpendidikan hingga rakyat biasa; dari pekerja rumah makan hingga penikmat kantoran; sejak tokoh pejabat hingga tokoh-tokoh rakyat. Pecah belah adalah peralatan dapur.
Dalam dunia politik, istilah pecah belah memiliki banyak makna. Istilahnya juga dibedakan dari biasanya. Pecah belah diistilahkan dengan Devide Et Impera. Sebuah istilah yang diadopsi dari bahasa asing, mungkin bahasa Italia atau bahasa Belanda. Mungkin juga dari bahasa sangsekerta. Istilah itu bila dikuliti satu persatu memiliki makna sebagai berikut: devide bermakna bagi-bagi, dan impera yang dapat diasosiasikan dengan imperium. Kata ini biasa diartikan dengan kekuasaan digdaya. Secara simple, istilah devide et impera itu dapat diartikan dengan bagi-bagi kekuasaan yang besar. Oleh karena itu, kata bagi-bagi mengisyaratkan kepada pecah-pecah sesuatu yang besar yang adidaya, yaitu kekuasaan. Maka devide et impera itu dapat dimaknai dengan politik pecah belah. Yang dipecah dan dibelah adalah pemikiran-pemikiran yang ada di tengah-tengah rakyat, masyarakat dan bahkan pemikiran agama. Caranya sangat beragam dan kadang-kadang tidak terbaca oleh orang awam. Tulisan ini mencoba untuk menyederhanakan politik pecah belah ini agar menjadi mudah dan ringan untuk dipahami.
Politik pecah belah (devide et impera) merupakan warisan penjajah kolonialisme Belanda. Teori politik ini merupakan kombinasi antara militer, ekonomi dan politik itu sendiri. Tujuannya memecah belah kelompok besar sehingga menjadi kecil berkeping-keping, dan menyatukan kelompok kecil untuk dijadikan alat imperiumnya. Dalam sejarah Indonesia, terjadi banyak perlawanan berupa peperangan oleh kaum pribumi terhadap penjajah. Sebut saja Perang Saparua, Maluku (1817) dipimpin oleh Pattimura; Perang Padri, Sumatera Barat (1821-1837) dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol; Perang Diponegoro di Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pengeran Diponegoro; Perang Aceh di Aceh (1873-1904) yang kemudian melahirkan tokoh pahlawan nasional seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan lain-lain; Perang Banjar, Kalimantan (1858-1866); dan beberapa perang dalam bentuk perlawanan pribumi terhadap kolonialisme penjajah Belanda. Oleh karena warisan, secara historis factual ternyata politik ini masih menjadi teori yang selalu digunakan oleh kalangan tertentu untuk memecah belah ummat atau masyarakat. Apa saja yang bisa dipecahbelahkan?
Dalam tatanan kultur dan agama, banyak hal yang dapat diperbuat oleh devide et impera. Tatanan kultur umpamanya, terjadi proses-proses penyusupan kebudayaan luar dalam tradisi-tradisi lokal tempatan. Penyusupan itu dilakukan dengan cara yang rapi, sehingga tidak tampak dengan kasat mata atau mata telanjang. Hal ini dapat dicontohkan dalam tradisi penyebutan paman, bibi, ponakan dan hal lain yang berkaitan dengan keluarga. Pak Cik umpamanya berubah menjadi Om; Ayah atau Bapak atau Abah diubah menjadi Papi, Mami dan lain-lain. Kebudayaan santun dan sopan, atau rasa hormat kepada yang lebih tua semakin hari semakin menipis, karena adanya asas bebas memberikan pendapat dalam hal ini dimotori oleh keran demokrasi, yang hampir membebaskan dan menghalalkan segala cara. Akibatnya, kultur ketimuran menjadi luntur dan lentur. Saat ini keberadaan dan keadaannya menjadi sekarat dan akan mati secara perlahan atau berubah warna menjadi abu-abu: bukan timur dan bukan barat. Lalu muncullah kultur baru yang disebut kultur modern. Semuanya serba canggih dan global. Ia menjalar dan mengakar ke anak bangsa sebagai tonggak penyambung sejarah. Kemudian lahirlah anak-anak yang sudah tidak mengenal lagi adat budaya suku bangsanya. Melayu, Banjar, Bugis, Minangkabau, Jawa dan Batak umpamanya sudah tidak tahu lagi dengan adat kebudayaan mereka masing-masing. Dan jadilah mereka ini generasi yang missing link dengan kebudayaan mereka sendiri. Inilah politik pecah belah dari aspek kultur.
Dari sudut pandang keagamaan, banyak sekali ruang dan celah yang sudah dimasuki dan dirasuki oleh sistem politik ini. Partai Islam terbelah menjadi beberapa kelompok dan komunitas. Perjuangan partai bukan berpihak kepada rakyat, melainkan kepada kader-kader partai atau kelompok tertentu. Pemikiran keagamaan yang sifatnya khilafiyah selalu diangkat ke permukaan, lalu dibenturkan dengan masyarakat atau umat yang memang "sensitive" dengan pemikiran khilafiyah itu. Tatanan konsep keluarga islami dirusak sedemikian rupa agar kultur-kultur asing masuk ke dalamnya dengan mudah. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah, umat ini dipecah belah dengan cara memperbanyak tempat ibadah.Tempat ibadah dalam hal ini adalah tempat ibadah umat Islam. Boleh jadi bernama masjid, mushalla, surau, atau langgar.
Tempat ibadah, masjid misalnya merupakan simbol keagamaan yang sangat penting. Dulu di zaman Rasulullah masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan pelayanan umat. Hampir setiap persoalan umat diselesaikan di masjid. Apakah persoalannya ‘beraroma' politik, ekonomi, sosial, dan apalagi keagamaan. Maka masjid bersifat multifungsi. Menurut catatan sejarah, masjid pada masa Rasulullah itu hanya: Masjidil Haram; Masjid Quba' dan Masjid Nabawi atau Masjid Madinah. Lain dulu dan lain sekarang. Prinsip dasar ini sangat bertolak belakang dengan keberadaan masjid-masjid sekarang, saat ini dan di zaman ini: era reformasi khususnya. Keberadaan masjid atau tempat ibadah umat Islam hari ini secara kuantitas sungguh sangat membanggakan karena angkanya di atas rata-rata: 300-400 ribu masjid sekaligus surau atau mushalla se-Indonesia. Namun ternyata, jumlah pertumbuhan itu berada di bawah pertumbuhan gereja sebagai tempat ibadah agama Nashrani.
Bukan persoalan banyak dan sedikit. Tetapi persoalan akibat dari jumlah tempat ibadah itu ternyata berdampak kepada jumlah jamaah yang mengisinya. Semakin banyak masjid atau mushalla, kenyataannya akan mengurangi jumlah jamaah tersebut untuk beribadah di sana. Dengan demikian, banyaknya jumlah tempat ibadah berdampak kepada berkurangnya jamaah di satu tempat ibadah itu sendiri. Konsekuensi yang paling ditakutkan adalah, -- kalau mau bicara dengan konsep waspada-perpecahan umat Islam itu ternyata berawal dari banyaknya masjid. Awalnya, dimulai dari retaknya hubungan antara kepengurusan baru dengan kepengurusan lama. Issu ini menjadi konsumsi jamaah yang membuat mereka menjadi bertanya-tanya. Mulailah issu itu menjadi opini publik, yang secara perlahan mengikis sedikit demi sedikit kepercayaan para jamaah. Di satu sisi, semakin banyak masjid atau surau pasti memiliki tokoh agama masing-masing. Kadang-kadang tokoh-tokoh yang paham agama itu berbeda pemahaman dalam satu masalah, yang akhirnya terjadi pergeseran antara satu masjid dengan masjid lainnya karena perbedaan pemahaman dari tokoh agama masing-masing.
Barangkali, banyaknya jumlah masjid yang semakin mengurangkan jamaah ini merupakan grant design dari kelompok-kelompok tertentu untuk menjadikan umat Islam ini seperti buih di lautan. Jumlah buih itu sangat banyak, tetapi sangat mudah diombang-ambingkan. Jumlah tempat ibadah umat Islam itu sangat membanggakan. Di setiap jalan besar, jalan-jalan utama, jalan protokol, lorong-lorong dan gang-gang sempit dapat ditemukan tempat-tempat ibadah. Tapi kadang-kadang tempat-tempat ibadah itu hanya diisi oleh seorang muadzin, imam dan seorang jamaah. Boleh jadi banyak tempat ibadah merupakan tanda-tanda hari kiamat, seperti yang disabdakan Nabi: masjidnya indah tetapi kosong dari jamaahnya. Wallahu A'lam.
FOLLOW THE Kabarindragiri.com AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Kabarindragiri.com on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram